KEKUATAN Belanda yang meluas setelah berhasil menaklukkan
kerajaan-kerajaan di Jawa dan sebagian Sumatera membuat Sultan Manshur
Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam geram. Sultan yang dalam beberapa
referensi sejarah disebutkan berkuasa pada 1850-an ini kemudian
mengirimkan surat kepada Kekhalifahan Turki Utsmany. Dalam surat
tersebut, Sultan Manshur Syah meminta izin Kekhalifahan Turky di bawah
kepemimpinan Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan
untuk menyerang Belanda yang sudah menguasai Batavia (Jakarta).
![]() |
image:mapesa |
“….Ampun Tuanku sembah ampun, ampun beribu kali ampun, patik anak
amas Tuanku, Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah
memohon ampun ke bawah qadam Duli Hadarat yang maha mulia, yaitu Sultan
Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan. Syahdan, patik beri
maklumlah ke bawah qadam Duli Hadarat, adapun karena patik sekarang ini
sangatlah masygul (?) dan serta kesukaran karena sebab Negeri Jawa dan
Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan
Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah
susah segala orang yang Muslim, lagi sangatlah kekurangan daripada
agama Islam karena sebab keras orang kafir Belanda itu. Dan muwafaqah
lah segala orang yang besar-besar segala rakyatnya yang di dalam negeri,
semuhanya itu hendak melawan dia lagi hendak memukul dia maka
dikirimlah surat daripada tiap-tiap orang yang besar-besar dalam negeri
semuhanya itu kapada patik ke Negeri Aceh karena Negeri Aceh yang dalam
pegangan perintah patik belumlah dapat oleh Belanda segala negeri dan
sekalian bandar. Dan sekarang orang Belanda hendak memeranglah kepada
patik ke Negeri Aceh dan sudahlah siapa dianya, dan patik pun ‘ala kulli
hal siaplah akan melawan dia, dan segala hulubalang dan orang yang
besar-besar pada negeri yang sudah dihukum oleh Belanda sudah sampai
surat kepada patik ke Negeri Aceh dan muwafaqah lah dianya dengan patik,
lagi satu batin dengan patik semuhanya orang itu, apabila bangkit
perang orang Belanda itu maka segala orang Islam pun bangkitlah melawan
dia lagi memukul dia tiap-tiap negeri yang telah tersebut itu karena
segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap-tiap negeri
semuhanya menanti titah daripada patik di Negeri Aceh dan tentangan
patik pun menanti titah dan wasithah daripada Duli Hadarat yang di
negeri Rum…”
Demikian kutipan surat Sultan Manshur Syah kepada Khalifah Turki
Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan, bertanggal 1265
Hijriah atau sekitar tahun 1850 Masehi. Surat berbahasa Arab ini
dipublikasi oleh Dr. Annabel Gallop dan kawan-kawan dalam tulisan
berjudul “Islam, Trade and Politics Across The Indian Ocean”,
yang kemudian diterjemahkan akun facebook milik Musafir Zaman dalam Grup
Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah). Setidaknya ada tiga surat dari
Sultan Manshur Syah dengan maksud serupa yang dipublikasi Dr Annabel
Gallop, yang kemudian diposting oleh Musafir Zaman dalam Grup Mapesa
tersebut.
Surat pertama dituliskan oleh Sultan Manshur Syah pada tahun 1265
Hijriah, surat kedua pada 1266 Hijriah dan surat terakhir tanpa
menyertakan tanggal. Di dalam surat terakhir tersebut, Sultan Manshur
Syah kembali menjelaskan tentang tekad Kerajaan Aceh Darussalam untuk
menyerang imperialisme Belanda dengan segala upaya.
![]() |
image:mapesa |
“Dalam sedikit tempo saja nanti bendera Aceh sudah akan berkibar di
Betawi (Batavia),” ujar Saiful ‘Alam Syah seperti dikutip sumber
Belanda.
Sultan Manshur Syah juga meminta izin Kekhalifahan Turki untuk mempersatukan Nusantara, mulai dari Tanah Jawi, Gowa hingga Sumatera di bawah bendera kekhalifahan Islam. Sultan Manshur Syah juga menekankan bahwa rencana ini bukan sekadar omongan besar utusan Aceh yang datang ke Kekhalifahan Turki Ustmany, Muhammad Ghuts Saiful ‘Alam Syah.
Sultan, dalam suratnya, menegaskan bahwa utusannya Saiful ‘Alam Syah membawa misi diplomatik yang teramat sangat penting yang ditandai dengan Cap Sikureung.
Sultan Manshur Syah juga meminta izin Kekhalifahan Turki untuk mempersatukan Nusantara, mulai dari Tanah Jawi, Gowa hingga Sumatera di bawah bendera kekhalifahan Islam. Sultan Manshur Syah juga menekankan bahwa rencana ini bukan sekadar omongan besar utusan Aceh yang datang ke Kekhalifahan Turki Ustmany, Muhammad Ghuts Saiful ‘Alam Syah.
Sultan, dalam suratnya, menegaskan bahwa utusannya Saiful ‘Alam Syah membawa misi diplomatik yang teramat sangat penting yang ditandai dengan Cap Sikureung.
![]() |
image: mapesa |
“Surat izin dari Sultan Abdul Majid Khan ternyata tidak pernah
datang. Perang raya Negeri Jawi untuk melawan dan mengusir Belanda yang
telah dipikirkan matang-matang tidak kunjung terjadi. Setidaknya ada
tiga pucuk surat Sultan Manshur Syah yang sampai ke Istambul, dan
Muhammad Ghuts Saiful ‘Alam Syah juga telah sampai menghadap Sultan
‘Abdul Majid Khan. Namun, jawaban dan izin yang sangat diharapkan oleh
Sultan Manshur Syah tidak juga tiba. Kenapa? Sesungguhnya hal itu sangat
mudah ditebak.
Belanda tentu tidak tinggal diam setelah mengetahui pergerakan ini. Kaki tangannya tentu pula sudah dikirimkan ke Istambul untuk mengalihkan Sultan Abdul Majid Khan dari permintaan Sultan Manshur Syah. Maka Allah telah menghendaki apa yang Ia kehendaki. Namun Sultan Manshur Syah dan Aceh tidak pernah surut dari sikapnya terhadap Belanda; negeri-negeri kaum Muslimin tetap harus dipertahankan dengan cara apapun dan sampai titik darah penghabisan,” tulis Musafir Zaman dalam grup Mapesa tersebut.
Belanda tentu tidak tinggal diam setelah mengetahui pergerakan ini. Kaki tangannya tentu pula sudah dikirimkan ke Istambul untuk mengalihkan Sultan Abdul Majid Khan dari permintaan Sultan Manshur Syah. Maka Allah telah menghendaki apa yang Ia kehendaki. Namun Sultan Manshur Syah dan Aceh tidak pernah surut dari sikapnya terhadap Belanda; negeri-negeri kaum Muslimin tetap harus dipertahankan dengan cara apapun dan sampai titik darah penghabisan,” tulis Musafir Zaman dalam grup Mapesa tersebut.
Informasi yang diperoleh dari Sekjen Mapesa,
Mizuar Mahdi, menyebutkan akun Musafir Zaman dikelola oleh ahli Epigraf
Islam, Teungku Taqiyuddin Muhammad. “Akun itu punya Teungku Taqiyuddin,
dan apa yang diposting tersebut adalah benar adanya, berdasarkan surat
yang dipublikasi oleh peneliti sejarah Asia Tenggara, Dr. Annabel Gallop
di dalam tulisannya seperti yang disebutkan oleh akun Musafir Zaman
tersebut di Grup Mapesa,” kata Mizuar.
Post a Comment