Salah satu referensi utama dan otentik dalam mengungkapkan sejarah
Kesultanan Aceh Darussalam adalah manuskrip (naskah kuno), di antaranya
yang terpenting berjudul Bustanus Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin
(Bustanus Salatin), yaitu satu-satunya kitab fenomenal yang disusun
pada abad ke-17, tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) dan Sultan
Iskandar Tsani (1636-1641), dan telah mempengaruhi penulisan karya pada
abad-abad selanjutnya. Kitab historis sekaligus memiliki nilai sastra
ini terdiri 7 bab, dan khusus gambaran tentang Kesultanan Aceh dan
geneologi pemimpinnya pada periode tersebut bearada di bab 2 pasal 13.
Pada masa tersebut, kitab inilah paling lengkap menceritakan kisah
raja-raja Melayu secara universal, termasuk Kesultanan Aceh Darussalam.
Kitab karya ulama non-Aceh Syekh Nuruddin Muhammad ibn Ali ibn Hasanji
ibn Muhammad Hamid ar-Raniri, berasal dari Gujarat-India. Jika merujuk
kepada kandungan isi naskah maka bisa ditemukan antara bab dan pasal
saling bersinambungan dan berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan
bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan kontinue sebelum dan
setelah berada di Aceh.
Berdasarkan rekaman sejarah, kitab Bustan as-Salatin menjadi perintis
yang mengupas tentang historikal Kesultanan Aceh yang bersifat teologis
sekaligus historis. Disebut teologis sebab mengurai keesaan Tuhan dan
segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya.
Sedangkan dikategorikan historis karna merangkup perjalanan
Sultan-sultan Aceh. Kitab Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri
terilhami dari kitab karya ulama sebelumnya, Bukhari al-Jauhari berjudul
Taj as-Salatin. Jika ditinjau dari beberapa sisi ada
persamaan, namun juga terdapat banyak perbedaannya, sebab kitab Taj
as-Salatin disusun lebih berat pada titik religious cultures
yang ditujukan kepada raja-raja Iran (Parsi), yaitu tidak lain merupakan
ilustrasi untuk konsepsi etika dalam membentuk harmoni peradaban
manusia dan alam ini.
Sedangkan kitab Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat religious histories,
yaitu terfokus pada teologi-sejarah dimana di dalamnya dilukiskan
gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan
prosesnya, namun tak terlepas dari keutamaan etik dan syariat. Kandungan
Bustan as-Salatin dengan jelas dan tegas memasukkan sejarah bangsa
Melayu ke dalam sejarah dunia Islam, dan khususnya perjalanan sejarah
Kesultanan Aceh sebagai Dar as-Salam (Darussalam). Maka, jika dibandingkan dengan kitab Sulalat Salatin (Sejarah Melayu) karangan
Tun Sri Lanang yang disebut Paduka Raja dalam Bustan as-Salatin, maka
kitab Bustan as-Salatin lebih bersifat pengetahuan, baik agama, sejarah,
sastra dan nasehat (etika).
Kitab Bustan as-Salatin ditulis secara periodenisasi Kesultanan, “Dan
ialah yang terlalu perkasa mengalahkan negeri Pedir dan Samudra dan
beberapa daripada negeri kecil. Dan adalah ia naik kerajaan pada hari
Ahad sebulan pada Jumadil Awwal pada Hijrah Sembilan Ratus Tiga Belas
Tahun, dan adalah ia dalam kerajaan empat belas tahun tujuh bulan” Jika
dikonversi hari Minggu 1 Jumadi al-Awal 913 H, bertepatan dengan 5
September 1507 M. Lebih awal beberapa tahun pada saat Portugis
menaklukkan Kesultanan Malaka tahun 1511 M. Deklarasi tersebut sangat
penting secara politis dan geografis, karena –sesuai naskah- telah
menyatukan beberapa Kerajaan Pidie, Samudra dan lainnya ke dalam
kesatuan Kesultanan Islam yang berdaulat dan merdeka dari penjajahan.
Banyak tokoh-tokoh penting yang tercantum dalam Bustanus as-Salatin
tidak terpublish, banyak peranan Sultan Aceh tidak mendapat kajian
mendalam oleh generasinya, seperti Sultan Alauddin al-Kahhar yang
mengadopsi adat-istiadat menjadi bagian dalam kesultanan (pemerintahan),
dia juga yang melakukan diplomasi dengan Kesultanan Ottoman Turki, yang
menghasilkan harmonisasi dua kekuatan Islam di dua wilayah yang
berbeda. Selain itu, beberapa Sultan juga telah berhasil membangun
kekuatan Islam dan perluasan wilayah, bukan hanya dari faktor kekuasaan,
akan tetapi juga telah membendung kekuatan luar untuk menjajah wilayah
Melayu-Nusantara.
Ada sekitar 34 Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam, mereka dari
background yang berbeda-beda, ras, dan silsilan keluarga, mereka juga
memiliki pemikiran dan program-program masing-masing, dan menjalani
berbagai permasalahan sosial, politik dan agama yang berbeda-beda pula.
Akan tetapi, dalam sepanjang sejarah para peneliti, pelajar dan
masyarakat masih bernostalgia akan kiprah dan biografi Sultan Iskandar
Muda, raja yang paling sukses dan berjaya dalam sejarah Aceh. Ia mampu
menaklukkan beberapa wilayah untuk menjadi bagian internal Kesultanan
Aceh, seperti penaklukan wilayah Deli (1613 M), Johor (1614 M), Pahang
(1617 M), Kedah (1618 M), Perak (1620 M), Nias (1625 M) dan Malaka (1629
M). Oleh karena euphoria yang berlebihan, kisah dan sejarah sultan
lainnya terkubur bersama zaman.
Padahal, Aceh di setiap abad telah banyak melahirkan ulama-ulama
bertaraf internasional, dan karya-karya mereka menjadi rujukan utama
oleh ulama Melayu-Nusantara. Sebut saja di antaranya Syekh Syamsuddin
bin Ali As-Sumtrani, Syekh Abdurraf al-Fansuri di empat periode
Sultanah, Syekh Faqih Jalaluddin, Syekh Ahmad Khatib Langgen, Syekh
Jalaluddin al-Tursani, Tgk Chik Abbas Kutakarang, Muhammad Zein dan
Syekh Ismail al-Asyi. Termasuk ulama, pengarang kitab dan sekaligus
pejuang seperti Tgk Chik Pante Kulu, Tgk Chik Pante Gelima dan Tgk Chik
Tanoh Abee.
Keindahan dan kemegahan Kesultanan Aceh dapat tergambar dalam uraian naskah Bustan as-Salatin “Syahdan,
di darat Balai Keemasan yang memiliki Balee Ceureumeen (Balai Cermin)
di istananya yang megah, di dalam istana ada Maligai Mercu Alam, dan
Maligai Daulat Khana dan Maligai Cita Keinderaan dan Medan Khayali, dan
aliran sungai Dar al-Isyki itu suatu dan terlalu amat luas, kersiknya
daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani yang amat luas. Dan
pada sama tengah medan itu Gegunungan Menara Permata, tiangnya dari
tembaga, dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, adalah
dalamnya beberapa permata puspa ragam dari Sulaimani dan Yamani”.
Kemegahan dan keindahan Kesultanan Aceh tersebut tidak ditemukan lagi
pada saat ini, Aceh telah kehilangan pusaka dan jati dirinya. Hilangnya
identitas tersebut telah merenggut jiwa ke-Aceh-an, budaya, adat dan
sejarahnya. Aspek-aspek tersebut telah melahirkan generasi yang lupa
akan sejarah dan budayanya, sehingga tidak dapat menjadikan sejarah dan
budaya sebagai barometer untuk kemajuan ke depan. Modal penting tersebut
telah direbut oleh pihak luar, dimana telah melahirkan banyak
pakar-pakar sejarah dan budawayan atas karya Aceh.
Oleh karena kurangnya penelitian dan pengkajian pada generasi
sekarang, khususnya karya tulis dan rekaman historis, sebab itulah
Koetaradja terbenam dalam sejarah. Ditambah lagi dengan langkanya
sumber-sumber utama dan otentik yang dapat memberi kita sekilas gambaran
keagungan masa silam. Untuk dapat memajukan Aceh, harus memotivasi akan
nasionalisme sejarah dan budaya Aceh pada generasi dan pemerintah saat
ini, ke dua sector itu memegang peranan penting dan saling keterkaitan
dan saling mendukung. Dengan demikian, akan melahirkan karya-karya
fenomenal pada periode ini untuk bisa dijadikan sebagai sumber utama di
masa mendatang.
Oleh Herman Syah, peneliti Sejarah dan Manuskrip Aceh. Naskah ini disampaikan dalam Diskusi Pubik Memperingati 501 Tahun Kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh, Sabtu 31
Maret 2012 yang dilaksanakan Lembaga Budaya Saman. Lisensi Pusat
Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT)/Acheh Turkish Culture Center (ATCC).
Kesultanan Aceh Darussalam dalam Manuskrip
Written By Admin on Tuesday, May 13, 2014 | 10:39 PM
Related Posts :
Labels:
Aceh
Post a Comment