Potjut Mirah Gambang, Nenek Tengku Hasan di Tiro ||
Badannya penuh darah, sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Ia tergeletak lemah diatas tanah yang dipenuhi genangan darah. Abdullah, putranya yang masih berumur 5 Bulan berada didekat ibunya yang tergeletak lesu, memandang penuh harap pada sang bunda tanpa mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
Wanita Aceh yang hebat itu adalah Potjut Gambang, anak dari Tjut Njak Dhien dan Teuku Umar. Wanita merdeka yang ditembak oleh Belanda dalam Perang Gunung Halimon. Ia menemukan syahidnya pada 3 September 1910, dua hari sebelum suaminya; Tengku Chik Mahyeddin di Tiro syahid di Perang Kuta Aneuk Galông pada 5 September 1910.
Banyak yang tidak tahu, jika Potjut Gambang adalah Nek Tjhik-nya Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Perkawinan Tengku Chik Mahyeddin dengan Potjut Gambang telah melahirkan Tengku Potjut Fatimah, Ibu dari Tengku Hasan di Tiro. Pertautannya sangat dekat, Tengku Hasan di Tiro adalah Cucu dari Potjut Gambang dan Cicit dari Cut Njak Dhien. Sama halnya ia juga cicit dari Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Melihat Potjut Gambang terluka parah, H.J. Schmidt Letnah Belanda yang memimpin perang Halimon itu merasa iba. Sambil mendekatinya, ia menawarkan segelas air kepada Potjut Gambang dalam bahasa Aceh;
"Neupeuméuah ulôn, Potjut. Peudjeut neudjép ië bacut?" ujar Schmidt. Suasana hening. Tanpa jawaban apapun. "Peu Potjut peu-idin kamöe peuubat luka neuh?" tawarnya lagi.
Sambil berdiri pelan dan memaling mukanya kearah lain, dengan penuh emosi Potjut Gambang menjawab; "Ka wëh keudéh Kaphe tjiaka! Bét kamat kuh! Hana keupu keu ubat kah! Ka kapöh Ayahkuh, Njak kuh, Laköe kuh, kabéh kapöh kamöe mandum. Kah handjéut kagantöe peuë njang ka kah peureulöe. Hana kutuëng sayang nibak kah! Kadjak wéh keudéh!"
H.J. Shmidt tertegun mendengar jawaban wanita agung ini. Ia menyaksikan bagaimana tegarnya Mujahidah Aceh menjelang syahidnya, tak ada ketakutan di wajahnya. Bahkan, ronanya menyiratkan kebanggaan, kesabaran dan kekuataan. Beberapa jam kemudian, Potjut Gambang menemui syahidnya.
Dalam bukunya, "Marechausse in Atjeh" Schmidt menulis kisah ini. Baginya, hanya ada satu ungkapan (Prancis) untuk sikap Potjut Gambang ; "Bon sang ne Saurait Mentir" - Darah njang djröeh handjéut djiseumulét! [Haekal Afifa]
Post a Comment